Kamis, 01 Mei 2008

Sejatinya Kita........

Jawa, yang membuatnya selalu dibawah. Selain tokoh Minke, buku ini juga menggambarkan seorang “Nyai” yang bernama Nyai Ontosoroh. Nyai pada saat itu dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan. Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Tetapi, yang menariknya adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui diakui sebagai seorang manusia. Nyai Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya. Hanya ada 1 jalan keluar, yaitu, Belajar, belajar dan terus belajar.Melalui buku ini, penulis menggambarkan bagaimana keadaan pemerintahan kolonialisme belanda pada saat itu secara hidup. Pram, menunjukan betapa pentingnya belajar. Dengan belajar, kita dapat mengubah nasib kita. Seperti didalam buku ini, Nyai yang tidak bersekolah, dapat menjadi seorang guru yang hebat bagi siswa STOVIA, Minke. Bahkan pengetahuan si “nyai” itu, lebih luas dari guru-guru sekolah STOVIA tersebut. Selain itu, penulis ingin menyampaikan bahwa selain sekolah, kita juga harus belajar dari pengalaman, dari buku-buku, dan dari semua orang dimana pun kita berada. Dengan berbagai keterbatasan, seseorang bisa menjadi sukses. Oleh dari itu kita tidak boleh membuat diri kita picik dan puas diri, tetapi kita harus terus belajar.Buku ini sempat dilarang beredar oleh jaksa agung tahun 1981dengan tuduhan mempropagandakan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme. Larangan Rezim Orde Baru-pemerintahan saat itu- terhadap peredaran buku ini dan karya pram yang lainnya cukup membingungkan. Larangan ini sangat kontroversi dan memuakan, di negeri-negeri kapitalis yang paling anti-komunis sekalipun pun larangan ini menjadi bahan tertawaan.Mengapa buku “Bumi Manusia” dilarang? Apakah karena mempropagandakan ajaran Marxisme-Leninisme? Tidak! Dalam buku ini tidak disebut-sebut sedikit pun tentang ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme atau komunisme, yang disebut hanya Nasionalisme. Rezim saat itu mungkin sangat khawatir dengan penokohan yang ditulis oleh Pram, lewat tokoh “Nyai Ontosoroh” dan “Minke” yang berpikir untuk mengubah nasib dan mendesak kita membuka wawasan kita dan terus belajar melihat dunia luar. Atau mungkin rezim saat itu takut, karena yang disetting yang digambarkan dalam bumi manusia terulang kembali pada masa orde baru? Kita semua tidak ada yang tahu pasti.Yang pasti, dengan melarang buku ini merupakan satu usaha dari rejim untuk membodohi rakyatnya, dan tidak ingin membuat pikiran rakyat Indonesia menjadi kritis. Sama seperti pemerintahan Kolonial Belanda yang tidak ingin pribumi Indonesia dapat menjadi pintar sehingga terus-menerus dapat dijajah oleh Belanda. Semoga saja pemerintahan yang baru tidak mengikuti kesalahan-kesalahan yang sama yang dilakukan oleh para pendahulunya.Sosok kontroversial yang membawa nama Indonesia ke peta sastra dunia ini bercerita soal hiruk pikuk hidupnya adalah tantangan sport, perempuan Cina, seks, dan nikmatnya membakar sampah. Kelahiran 6 Februari 1925 ini amat mengimani kerja. Menganggap kerja sebagai eksistensi abadi bagi manusia. Dan di hati Pramoedya Ananda Toer kerja adalah menulis. Maka menulislah ia. Dalam Rumah Kaca Pram pernah mencatat: ‘.. gairah kerja adlalah pertanda daya hidup, selama orang tak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut…’ Merokok tanpa putus sejak umur 15 tahun, lahirlah tetralogi yang legendaris itu [Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah]. Juga judul judul seperti Mangir, Arok Dedes, Arus Batik, Nyanyi Sunyi SeorangBisu dan banyak lagi. Semuanya memiliki kesamaan: menggetarkan dunia. Nominasi Nobel bidang sastra beberapa kali mencatat namanya. Pengalaman hidupnya seolah ditakdirkan dramatis [layaknya orang-orang besar]. Pernah jadi pihak yang menekan saat Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi kesenian underbow PKI] berjaya. Lantas tersuruk jadi tahanan politik selama 14 tahun 2 bulan tanpa pengadilan disusul status tahanan rumah. Juga menyaksikan dengan sesak karya dan harta literaturnya dibakar militer [sampai kini dia masih tak mengerti, karena merasa dasarnya menulis adalah satu: kermanusiaan]. Pun pelarangan terhadap tulisan-tulisannya.Karya-karya Pram tak banyak mengutak-atik keindahan bahasa, longgar, dan kerap kelam meski tengah mengekspresikan keriaan hidup, seperti seks. Dalam penutup satu bab di Bumi Manusia, Pram menulis perasaan Minke tentang persetubuhannya dengan Annelies: “Aku balas pelukannya. Dan tiba-tiba jantungku berdeburan diterpa angin timur. Satu ulangan telah memaksa kami jadi sekelamin binatang purba, sehingga akhirnya kami tergolek. Sekarang gumpalan hitam tidak memenuhi antariksa hatiku. Dan kami berpelukan kembali seperti boneka kayu.”Sebagai penulis Pram menganggap keindahan terletak pada kemanusiaan, perjuangan untuk kemanusiaan dan bebas dari penindasan. Bukan dalam mengutak-atik bahasa.Sejarah Indonesia itu sejarah angkatan muda. Jangan lupa itu! Sejak tahun belasan, di negeri Belanda, menjalar ke Indonesia. Puncaknya di Sumpah Pemuda. Itu titik tolak negara kita.Ayah saya Direktur Sekolah Boedi Oetomo. Saya sekolah di situ. Untuk tamat tujuh kelas, saya memerlukan sepuluh tahun. Tahu perasaan dia terhadap anaknya? Mengecewakan lah.Tidak punya dendam saya. Kalo punya dendam jadi beban lagi. Saya kehilangan apa saja, tidak merasa kehilangan. Rumah dirampas, perpustakaan dibakar, delapan naskah dibakar.Pengagum sastrawan Gunther Grass dan John Steinbeck ini mengaku begitu produktif berkarya karena merasa tidak akan berumur panjang. Kenyataannya pada usia 81 tahun dia masih mengepulkan asap rokok saat ditemui Feature Editor PLAYBOY Alfred Ginting dan Soleh Solihun, di rumahnya yang asri, di kawasan Bojong Gede, Jawa Barat. PLAYBOY ditemani Happy Salma yang sore itu membawakan sebotol wine untuk penulis yang dikaguminya itu. Setiap malam Pram menenggak satu dua sloki wine demi kesehatan jantungnya.Seperti yang sudah-sudah wawancara ini kembali banyak menjelajah sikap politik Pram, tidak seperti keinginan kami untuk membongkar sikap sastranya. Pram sulit diajak untuk mengomentari karya-karyanya. Pram menganggap karya-karya itu sebagai anak-anak jiwanya. Mereka bebas terbang lepas setelah didewasakan oleh pena dan mesin tiknya. Selain itu usia membuat Pram berjarak dengan masa lalu kepengarangannya. Di rumah - hasil dari royalti bukunya yang telah diterjemahkan ke 42 bahasa - Pram tak lagi banyak bekerja. Sudah sepuluh tahun dia tidak menulis, semangatnya dipatahkan umur tubuhnya. Saban hari dia bangun jam lima pagi, mengumpulkan kliping berita koran bertema geografi untuk cita-citanya yang tidak akan terwujud - menyusun apa yang dia sebut Ensiklopedi Kawasan Indonesia, sesekali menerima tamu, melihat-lihat ternak ayam dan angsanya, dan membakar sampah.Pada meja bundar di ruang tamu rumahnya, Prain menjawab pertanyaan PLAYBOY. Di meja itu bertumpuk sejumlah buku. Yang menarik perhatian adalah fotokopi novel Gulat di Djakarta yang akan diterbitkan kernbali oleh penerbit Lentera Dipantara. Pram mengenakan polo shirt lusuh, celana training biru dan sandal jepit. Kaos kaki sepakbola berwarna hijau menutup ujung kaki celananya. “Dingin kaki saya,” kata dia. Pram masih menunjukkan kekukuhan dalam argumentasi dan pemakluman atas sikapnya. Seperti tentang pendiriannya terhadap Soekarno sebagai pemimpin yang berhasil mempersatukan bangsa Nusantara tanpa meneteskan darah. Padahal di zaman rezim Soekarno dia ditahan karena menulis Hoakiau di Indonesia. “Yang memenjarakan saya itu militer. Bukan Soekarno,” tegasnya.